Bercerita tentang seorang pemuda bernama Jaka Tole yang tinggal bersama kedua orang tua angkatnya, di Madura. Ayah angkatnya bernama Empu Keleng, seorang pandai besi. Dan Ibu angkatnya bernama Nyi Empu Keleng. Sebenarnya, Jaka Tole sendiri tak menyadari bahwa Ia adalah seorang anak angkat. Ayah kandungnya, Adipeday, seorang raja yang sedang bertapa di gunung Ghegger (Kabupaten Bangkalan), dan Ibu kandungnya, Raden Ayu Putri Kuning pun seorang pertapa, tetapi di gunung Pajudan (Kabupaten Pamekasan).
Kemudian pada suatu hari, Raja Brawijaya, sultan kerajaan Majapahit, menitahkan kepada seluruh pandai besi diseluruh tanah Jawa dan Madura, untuk membuat sebuah pintu gerbang besi. Empu Keleng pun dipanggil juga. Namun, pada suatu ketika, Empu Keleng jatuh sakit kemudian Jaka Tole pun ikut menyusul Ayah angkatnya itu.
Dalam perjalannya menuju istana, Ia menemukan fakta bahwa Ia adalah seorang anak angkat, fakta bahwa Ia masih memiliki saudara dan mengalami sebuah pertemuan dengan seseorang yang bernama Adirasa, yang memberikannya sekuntum bunga mawar untuk dimakan oleh Jaka Tole. Adirasa mengatakan bahwa bunga tersebut akan membantunya dalam menolong Ayah angkatnya. Seperti pada apa yang dikatakan Adirasa kepada Jaka Tole :
“Makanlah bunga ini! Dari dalamnja akan keluar pateri untuk alat mematerikan pintu gerbang jang sekarang sedang dibuat orang di Madjapahit itu. Akan mengeluarkan pateri itu hendaklah engkau dibakar dulu. Kerdjakanlah baik – baik pesanku ini, hatimu djangan tjemas sedikit juga!”
Kisah Jaka Tole dilanjutkan dengan petualangannya mengerjakan titah – titah dari Raja Brawijaya yang memang tugas – tugas yang diperintahkan tidaklah mudah. Namun, Jaka Tole adalah pemuda yang sakti, bahkan orang – orang tidak percaya bahwa Jaka adalah anak dari Empu Keleng. Semenjak hari itu, Jaka Tole dikenal sebagai pandai besi tahan api. Kemudian karena Raja Brawijaya terkesan akan apa yang telah dilakukan oleh Jaka Tole, Beliau mendudukkan Jaka kepada salah seorang putrinya. Dan Ia pun diangkat sebagai menteri yang namanya diubah menjadi Menteri Kodapanole. Jaka Tole, dalam kisah ini menggambarkan sesosok pemuda yang sangat berbakti kepada kedua orang tuanya. Walau pun mereka adalah orang tua angkat Jaka Tole.
Buku yang menceritakan tentang hikayat Jaka Tole ini, merupakan buku terbitan Dinas Balai Pustaka, cetakan kelima, yang rilis pada tahun 1956. Selain berisi hikayat tentang Jaka Tole, buku ini juga bercerita tentang hikayat – hikayat dari Ken Arok, Rama dan Sinta, Hang Tuah, Barata Yuda, dan lain – lain. Jadi pada intinya buku ini adalah sebuah buku yang berisi kumpulan – kumpulan cerita hikayat – hikayat yang terkenal sejak jaman dahulu.
Kelemahan pada buku ini adalah, Balai Pustaka sama sekali tidak mencantumkan nama pengarang atau penulisnya. Bahasa yang digunakan dalam cerita menggunakan ejaan lama. Seperti sebagai contoh ; hikajat, Ajah, djuga, tjemas, Brawidjaja, chidmadnja, djika, ketjilnja, Kjahi, dan sebagainya. Sehingga untuk saya pribadi, agak sulit untuk membacanya. Namun, tutur bahasa yang digunakan dalam cerita begitu sopan dan sangat indah susunannya. Seperti menampakkan suatu nasehat dalam setiap kalimatnya. Segi estetisnya begitu terasa ketika membaca cerita ini.
“Ajah, saja harap ajah pulang ke Madura ; bawalah hadiah radja ini untuk ibu. Saja tinggal disini, karena kelak seri baginda tak dapat tiada atjap kali memanggil saja”
Bila dibandingkan dengan ejaan yang telah disempurnakan (EYD), mungkin cerita ini akan kalah saing dalam hal kepraktisan. Tetapi, esens yang diberikan akan berbeda dan berkurang indahnya jika ejaan lama itu dihilangkan. Coba saja bayangkan jikalau, contoh kalimat di atas diganti dengan ejaan baru. Mungkin akan lebih mudah membacanya, tapi, akan berkurang juga benih segar yang memang sudah men-cap sebuah kalimat menjadi rangkaian kelopak kata indah tersebut.
Penerbit memperpendek cerita Jaka Tole, maka itu membantu pembaca agar tidak terlalu bosan dengan kalimat – kalimat yang berkepanjangan. Secara keseluruhan isi dari buku ini hampir sama. Yaitu menganut aliran sastra Melayu dan berbau fiksi historis. Nasehat – nasehat yang ingin disampaikan penerbit kepada pembaca, ditulis sedemikian rupa agar pembaca dapat menangkap makna dari cerita – cerita tersebut dengan pengertian yang kental dan tidak ngawur.
Jaka Tole mengajarkan pada kita semua pada kekuatan kasih sayang dan pandangan tanpa perbedaan. Agar kita selalu berbhakti kepada orang tua atau siapa pun yang telah berjasa kepada kita. Tidak lupa mengajarkan kita untuk selalu percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa Ridho-Nya akan selalu berada di samping kita jika kita menjadi orang yang saleh. Mungkin nasehat – nasehat seperti ini telah klise di mata masyarakat, namun, justru sesuatu yang begitu klise inilah yang terkadang dilupakan oleh orang – orang masa sekarang, seperti kita ini. Sikap yang berbhakti kepada orang tua saja, sangat susah untuk dilakukan anak – anak muda jaman sekarang.
Sebagai contoh, para pelajar yang malas untuk bersekolah. Padahal kedua orang tua mereka telah berpeluh keringat darah, hanya untuk mendapatkan sacarik kertas hijau-merah (uang) agar anak – anak mereka dapat menjadi anak yang memiliki daya intelektual tinggi. Apalagi bila membicarakan soal ibadah, sampai sekarang semua orang masih ada yang lupa terhadap Tuhan. Lihat saja contoh dari kota Jakarta, bukannya memvonis, namun hanya sebagai contoh di kacamata saya pribadi, pada ketika adzan Solat Jum’at, masih banyak juga`orang – orang yang seliweran mementingkan uang ketimbang ibadah. Bagi mereka, hanya ada satu motto utama. Yaitu, Time Is Money.
Begitulah, cerita hikayat Jaka Tole, mengajarkan banyak hal yang perlu diperhatikan walaupun klise dan sudah umum. Untuk memulai sesuatu yang besar, kita perlu menggali dari dasar terlebih dahulu. Meskipun raganya telah tiada, namun, pengamalannya akan tetap diingat sepanjang jaman.
Review by
Gadis Dellilah Maxworthy^_^